Apa yang bisa di kerjakan oleh orang teater di
masa depan, sangat tergantung dari bagaimana dia melihat teater itu. Apakah
teater hanya sebuah pertunjukan, yang bisa menjadi barang komoditi dan hanya
bersifat menghibur? Atau teater adalah sebuah peristiwa spiritual, yang
meskipun dapat merupakan barang komoditi, tetapi esensi dan eksistensinya lebih
ditujukan untuk keseimbangan rohani?
Teater sebagai barang komoditi, akan membawa orang teater sampai kepada berbagai masalah teknis dan kiat-kiat
manajemen untuk mengukuhkan teater sebagai sebuah profesi. Teater akan membuka
medan pertarungan yang sangat luas dan bersaing dengan berbagai teknologi dan
ilmu kemas yang sudah canggih dari negeri yang sudah berkembang.
Tak heran kalau prioritas pertama yang menjadi primadona dalam agenda
teater macam itu adalah: peningkatan teknologi, penyempurnaan
prasarana, pemahaman terhadap ilmu kemasan, dan ketrampilan-ketrampilan prima
yang didukung oleh penguasaan ABC pemanggungan. Sehingga dalam setiap
produksi teater, masalah-masalah elementer tidak menjadi persoalan lagi, teknis
tidak menjadi beban lagi, teater menjadi profesional dan profesi bagi
pendukungnya. Eksplorasi teknologi dan kemampuan teknologi canggih harus
dimanfaatkan secara maksimal.
Teater akan hadir sebagai sebuah ilmu. Ia di bentuk oleh unsur-unsur (naskah, seni bermain, tata rias, busana, tata panggung, konsep
pemanggungan, konsep penyutradaraan, manajemen produksi, dll.) yang juga
harus dipelajari sebagai ilmu. Ia dikembangkan secara sistematis, bertahap
dengan planing, rencana dan
target-target yang sudah dipikirkan dengan masak. Teater menjadi sebuah dunia
ilmu yang memerlukan penguasaan teori-teori yang hanya bisa dilaksanakan
setelah beberapa tahun. Teater menjadi barang yang keras, rumit, dan sulit.
Dengan basis yang kuat pada ilmu pemanggungan,
disertai kelihaian mengolah teknologi, teater akan menjadi asesoris kehidupan
modern yang sama kedudukannya dengan film, televisi, disko/cafe bahkan juga klub malam. Ia akan menjadi atribut pergaulan,
dibutuhkan oleh manusia kota, dan pasarnya akan terbentuk. Sebagai profesi ia
akan mandiri dan sebagai media ia akan potensial untuk ditumpangi/dimanfaatkan
berbagai muatan: politik, pendidikan, moral dan sebagainya. Terutama sekali
teater akan bersaing dengan cara yang sama dengan teater dari manapun. Teater
pun akan menjadi sama di mana-mana.
Perbedaan bahasa, dengan
mudah sudah diatasi dengan teknologi. Perbedaan konteks, akan menjadi bertambah
tipis, karena dunia semakin berhimpitan dalam era globalisasi. Yang
dipersoalkan pun bukan lagi konteks tetapi daya capai, sebagaimana yang terjadi
dalam olahraga. Idiom sudah sama, dan bisa dipakai bersama. Tinggal bagaimana
kemampuan mengolah teknologi dan ketrampilan itu.
Teater semacam itu bukan berarti tidak kita butuhkan. Kita
memerlukannya, karena memang kita tidak memilikinya. Tradisi kita berkembang
dengan cara memandang teater dari visi yang lain. Jadi katakanlah teater
semacam itu belum pernah kita miliki, atau barangkali kita tidak akan pernah sama
sekali memilikinya. Karena harus diakui kalau memang itu tujuan kita(*untuk memiliki) kita akan selalu dalam
posisi mengejar. Bukan karena kita begitu tetrlambatnya atau begitu tak
berdayanya dalam mengejar, tetapi karena kita memiliki sesuatu yang membebani
kita. Kita memiliki pemahaman teater dalam arti yang lain. Itulah beban dan
sekaligus kekayaan kita. Atau kalau dibalik, itulah kekayaan yang mau tak mau
akan membebani kita, akan mengganggu, dan merecoki kita terus-menerus.
Kita sebenarnya sudah mencoba mengembangkan
potensi yang kita miliki itu. Dramawan seperti Rendra, Arifin dan penari/koreografer
Sardono(*sekedar menyebut contoh)
adalah orang-orang yang mempelajari teater barat, tetapi tidak dalam posisi
mengejar tok. Mereka mengejar bukan sebagai
tujuan. Mereka ingin memahaminya sebagai refrensi. Kalau dapat dipakai, mereka
pergunakan. Kalau tidak, cukup untuk diketahui saja.
Tetapi cara mereka mempergunakan pun lain. Mereka
tidak mempergunakannya sebagaimana barat mengaplikasinya, mereka memanfaatkannya
menurut kemauan mereka sendiri. Perhatian mereka yang terbesar adalah,
mengembangkan apa yang sudah mereka pikul di dalam tradisi teater indonesia
sendiri. Bahwa teater adalah peristiwa spiritual, dan pemahaman-pemahaman barat
mereka gunakan sebagai alat bantu, dan sebagai sparring partner saja.
Sebagai akibatnya, tindakan-tindakan
mereka, eksplorasi mereka, ekspresi mereka, tidak semata-mata hanya teknis.
Mereka masuk ke dalam batin dan lebih mengolah manusia. Teknologi mereka bukan
teknologi fisikal, tetapi teknologi batin. Mereka lebih mengembangkan daya
interpretasi-interpretasi, sudut pandang, dan imajinasi ke dalam diri penonton.
Karena peristiwa tontonan mereka memiliki arti dan bukan hanya sebagai hiburan,
tetapi penyelamatan. Sebuah katarsis. Teater mereka pun tidak akan pernah sama
dengan teater barat. Dan ini potensi yang tidak kecil dalam era globalisasi.
Potensi ini menunggu untuk dikembangkan, karena dalam kesempatan yang lain
kelak, seperti barat yang tak pernah bisa kita kejar, kita pun tak pernah dapat
dikejar oleh Barat.
Teater sebagai keseimbangan batin, akan lebih mengarahkan teater
kepada hakikatnya sebagai sebuah peristiwa bersama, bukan berhenti sebagai
perenungan individu saja. Sebagaimana yang terjadi pada teater tradisi kita,
teater tidak hanya menghibur, tetapi yang lebih utama lagi, teater
menyumbangkan nilai-nilai spiritual. Teater menjadi semacam upacara bersama,
untuk mengajak masyarakat mengalami peristiwa dalam sebuah kelompok.
Tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh dramawan-dramawan itu adalah pengendapan-pengendapan. Teater
sebagai media untuk berbicara kepada masyarakat, agar masyarakat melihat
dirinya sendiri, problemnya sendiri, hingga dapat mengembangkan semaksimal
mungkin potensinya sendiri.
Teater bukan hanya cerita, teater
bukan hanya karakter, teater bukan hanya konflik, teater bukan hanya masalah
kejiwaan, teater juga bukan hanya filsafat, teater pun bukan hanya sekedar
politik ataupun ajaran moral atau pendidikan-pendidikan. Teater adalah
kehidupan yang komplit. Teater menjadi tempat untuk meditasi dan memang bisa
menghibur, menggembirakan, menyedihkan, menyesatkan, menghasut, dan sebagainya.
Namun intinya adalah keseimbangan jiwa.
Teater mendekatkan manusia kepada dirinya sendiri. Membuat ia lebih mengerti batas dan
kemampuan-kemampuannya, serta posisinya. Teater juga membuat manusia melihat
eksistensi orang lain dengan seluruh permasalahnnya. Dengan teater, setting kehidupan dibuka. Bukan hanya
kehidupan nyata, tetapi juga kehidupan yang tidak nyata.
Banyak hal, banyak
kearifan yang sebenarnya sangat aktual dan relevan dalam kehidupan kini, sudah
tersimpan dalam teater tradisi. Hanya karena kemalasan dan ketidakmampuan kita
untuk menerjemahkan, menafsirkan kembali, dan kemudian memakainya. Kita sempat
berpaling dan melihat Barat adalah refrensi tunggal yang utama.
Bahwa barat adalah salah satu
refrensi yang penting, memang ya. Bahwa barat sudah mengajarkan banyak hal,
juga ya. Khususnya teknologi dan ketrampilan pemanggungan yang formal di mana
teater adalah kehidupan yang sekular, memang ya. Tetapi jangan berfikir
bahwa tanpa Barat, tidak ada teater. Itu penjajahan pikiran, Itu kesalahan
melihat. Sesuatu yang cukup lama menjajah kita, bahkan juga masih bercokol di
banyak kepala para pemikir dan pengamat teater, bahkan juga menjangkiti para
dramawan sendiri.
Di masa lalu, pengkiblatan teater kepada kekayaan
tradisi, hanya semacam pelarian dari ketidakberdayaan mengejar teknologi teater
Barat. Karena tak berdaya, tak mampu, kita lalu menjual keterbelakangan kita,
kemiskinan kita, keprimitifan kita, dan kita terpaksa menjual apa saja yang
eksotik bagi Barat, untuk memuaskan emosi romantik para musafir barat yang
ingin mencari ketenanngan pada keterbelangan timur.
Sekarang, seharusnya hal tersebut dihentikan.tokoh
yang sudah kita sebutkan di atas sudah memulainya, mereka mempelajari dan
menguasai Dramaturgi Barat. Meraka pun mempergunakannya kalau perlu. Tetapi
mereka tidak memetakan diri ke situ, dan tidak mau dipetakan oleh refrensi itu.
Mereka melahirkan teaternya sendiri. Entah disebut teater miskin atau teater
primitif, tetapi mereka memiliki kerajaannya sendiri yang merdeka dan
berdaulat.
Teater Indonesia di masa
depan tidak ingin bersaing dengan teater Barat. Tetapi mengammbil posisi:
saling membutuhkan, karena saling hadir dan saling melengkapi. Teater Indonesia
di masa depan, seharusnya mampu akan membuat teater Barat melihat,
memperhitungkan, menghormati, dan kemudian membutuhkannya. Persis sebagaimana
sikap kita dulu terhadap teater Barat.
Masa depan teater
Indonesia memang sangat tergantung dari orang teaternya sendiri. Dunia
apa/bagaimana yang ada dalam benak orang teater itu. Yang jelas waktunya
terlalu mendesak, orang teater Indonesia mesti mulai memutuskan, apakah mereka
akan menempuh jalan yang sudah dirintis oleh tokoh-tokoh yang disebut di atas,
atau menngikuti seruan mereka yang menginginkan Indonesia menjadi sebuah
Broadway yang lain.
...... masalah terbesar yang sedang
di hadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini adalah krisis Spiritual.
Teater bisa
menjadi senjata moral untuk menghancurkan ke-tidakseimbang-an Spiritual itu. bersama Agama, Pendidikan,
menjadikan bangsa Indonesia lebih beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar