Rabu, 22 Februari 2012

Reformasi Teater


Apa yang bisa di kerjakan oleh orang teater di masa depan, sangat tergantung dari bagaimana dia melihat teater itu. Apakah teater hanya sebuah pertunjukan, yang bisa menjadi barang komoditi dan hanya bersifat menghibur? Atau teater adalah sebuah peristiwa spiritual, yang meskipun dapat merupakan barang komoditi, tetapi esensi dan eksistensinya lebih ditujukan untuk keseimbangan rohani?
Teater sebagai barang komoditi, akan membawa orang teater sampai kepada berbagai masalah teknis dan kiat-kiat manajemen untuk mengukuhkan teater sebagai sebuah profesi. Teater akan membuka medan pertarungan yang sangat luas dan bersaing dengan berbagai teknologi dan ilmu kemas yang sudah canggih dari negeri yang sudah berkembang.
Tak heran kalau prioritas pertama yang menjadi primadona dalam agenda teater macam itu adalah: peningkatan teknologi, penyempurnaan prasarana, pemahaman terhadap ilmu kemasan, dan ketrampilan-ketrampilan prima yang didukung oleh penguasaan ABC pemanggungan. Sehingga dalam setiap produksi teater, masalah-masalah elementer tidak menjadi persoalan lagi, teknis tidak menjadi beban lagi, teater menjadi profesional dan profesi bagi pendukungnya. Eksplorasi teknologi dan kemampuan teknologi canggih harus dimanfaatkan secara maksimal.
Teater akan hadir sebagai sebuah ilmu. Ia di bentuk oleh unsur-unsur (naskah, seni bermain, tata rias, busana, tata panggung, konsep pemanggungan, konsep penyutradaraan, manajemen produksi, dll.) yang juga harus dipelajari sebagai ilmu. Ia dikembangkan secara sistematis, bertahap dengan planing, rencana dan target-target yang sudah dipikirkan dengan masak. Teater menjadi sebuah dunia ilmu yang memerlukan penguasaan teori-teori yang hanya bisa dilaksanakan setelah beberapa tahun. Teater menjadi barang yang keras, rumit, dan sulit.
Dengan basis yang kuat pada ilmu pemanggungan, disertai kelihaian mengolah teknologi, teater akan menjadi asesoris kehidupan modern yang sama kedudukannya dengan film, televisi, disko/cafe bahkan juga klub malam. Ia akan menjadi atribut pergaulan, dibutuhkan oleh manusia kota, dan pasarnya akan terbentuk. Sebagai profesi ia akan mandiri dan sebagai media ia akan potensial untuk ditumpangi/dimanfaatkan berbagai muatan: politik, pendidikan, moral dan sebagainya. Terutama sekali teater akan bersaing dengan cara yang sama dengan teater dari manapun. Teater pun akan menjadi sama di mana-mana.
            Perbedaan bahasa, dengan mudah sudah diatasi dengan teknologi. Perbedaan konteks, akan menjadi bertambah tipis, karena dunia semakin berhimpitan dalam era globalisasi. Yang dipersoalkan pun bukan lagi konteks tetapi daya capai, sebagaimana yang terjadi dalam olahraga. Idiom sudah sama, dan bisa dipakai bersama. Tinggal bagaimana kemampuan mengolah teknologi dan ketrampilan itu.
            Teater semacam itu bukan berarti tidak kita butuhkan. Kita memerlukannya, karena memang kita tidak memilikinya. Tradisi kita berkembang dengan cara memandang teater dari visi yang lain. Jadi katakanlah teater semacam itu belum pernah kita miliki, atau barangkali kita tidak akan pernah sama sekali memilikinya. Karena harus diakui kalau memang itu tujuan kita(*untuk memiliki) kita akan selalu dalam posisi mengejar. Bukan karena kita begitu tetrlambatnya atau begitu tak berdayanya dalam mengejar, tetapi karena kita memiliki sesuatu yang membebani kita. Kita memiliki pemahaman teater dalam arti yang lain. Itulah beban dan sekaligus kekayaan kita. Atau kalau dibalik, itulah kekayaan yang mau tak mau akan membebani kita, akan mengganggu, dan merecoki kita terus-menerus.
           


Kita sebenarnya sudah mencoba mengembangkan potensi yang kita miliki itu. Dramawan seperti Rendra, Arifin dan penari/koreografer Sardono(*sekedar menyebut contoh) adalah orang-orang yang mempelajari teater barat, tetapi tidak dalam posisi mengejar tok. Mereka mengejar bukan sebagai tujuan. Mereka ingin memahaminya sebagai refrensi. Kalau dapat dipakai, mereka pergunakan. Kalau tidak, cukup untuk diketahui saja.
Tetapi cara mereka mempergunakan pun lain. Mereka tidak mempergunakannya sebagaimana barat mengaplikasinya, mereka memanfaatkannya menurut kemauan mereka sendiri. Perhatian mereka yang terbesar adalah, mengembangkan apa yang sudah mereka pikul di dalam tradisi teater indonesia sendiri. Bahwa teater adalah peristiwa spiritual, dan pemahaman-pemahaman barat mereka gunakan sebagai alat bantu, dan sebagai sparring partner saja.
            Sebagai akibatnya, tindakan-tindakan mereka, eksplorasi mereka, ekspresi mereka, tidak semata-mata hanya teknis. Mereka masuk ke dalam batin dan lebih mengolah manusia. Teknologi mereka bukan teknologi fisikal, tetapi teknologi batin. Mereka lebih mengembangkan daya interpretasi-interpretasi, sudut pandang, dan imajinasi ke dalam diri penonton. Karena peristiwa tontonan mereka memiliki arti dan bukan hanya sebagai hiburan, tetapi penyelamatan. Sebuah katarsis. Teater mereka pun tidak akan pernah sama dengan teater barat. Dan ini potensi yang tidak kecil dalam era globalisasi. Potensi ini menunggu untuk dikembangkan, karena dalam kesempatan yang lain kelak, seperti barat yang tak pernah bisa kita kejar, kita pun tak pernah dapat dikejar oleh Barat.
            Teater sebagai keseimbangan batin, akan lebih mengarahkan teater kepada hakikatnya sebagai sebuah peristiwa bersama, bukan berhenti sebagai perenungan individu saja. Sebagaimana yang terjadi pada teater tradisi kita, teater tidak hanya menghibur, tetapi yang lebih utama lagi, teater menyumbangkan nilai-nilai spiritual. Teater menjadi semacam upacara bersama, untuk mengajak masyarakat mengalami peristiwa dalam sebuah kelompok.
            Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dramawan-dramawan itu adalah pengendapan-pengendapan. Teater sebagai media untuk berbicara kepada masyarakat, agar masyarakat melihat dirinya sendiri, problemnya sendiri, hingga dapat mengembangkan semaksimal mungkin potensinya sendiri.
            Teater bukan hanya cerita, teater bukan hanya karakter, teater bukan hanya konflik, teater bukan hanya masalah kejiwaan, teater juga bukan hanya filsafat, teater pun bukan hanya sekedar politik ataupun ajaran moral atau pendidikan-pendidikan. Teater adalah kehidupan yang komplit. Teater menjadi tempat untuk meditasi dan memang bisa menghibur, menggembirakan, menyedihkan, menyesatkan, menghasut, dan sebagainya. Namun intinya adalah keseimbangan jiwa.
            Teater mendekatkan manusia kepada dirinya sendiri. Membuat ia lebih mengerti batas dan kemampuan-kemampuannya, serta posisinya. Teater juga membuat manusia melihat eksistensi orang lain dengan seluruh permasalahnnya. Dengan teater, setting kehidupan dibuka. Bukan hanya kehidupan nyata, tetapi juga kehidupan yang tidak nyata.
            Banyak hal, banyak kearifan yang sebenarnya sangat aktual dan relevan dalam kehidupan kini, sudah tersimpan dalam teater tradisi. Hanya karena kemalasan dan ketidakmampuan kita untuk menerjemahkan, menafsirkan kembali, dan kemudian memakainya. Kita sempat berpaling dan melihat Barat adalah refrensi tunggal yang utama.
            Bahwa barat adalah salah satu refrensi yang penting, memang ya. Bahwa barat sudah mengajarkan banyak hal, juga ya. Khususnya teknologi dan ketrampilan pemanggungan yang formal di mana teater adalah kehidupan yang sekular, memang ya. Tetapi jangan berfikir bahwa tanpa Barat, tidak ada teater. Itu penjajahan pikiran, Itu kesalahan melihat. Sesuatu yang cukup lama menjajah kita, bahkan juga masih bercokol di banyak kepala para pemikir dan pengamat teater, bahkan juga menjangkiti para dramawan sendiri.
Di masa lalu, pengkiblatan teater kepada kekayaan tradisi, hanya semacam pelarian dari ketidakberdayaan mengejar teknologi teater Barat. Karena tak berdaya, tak mampu, kita lalu menjual keterbelakangan kita, kemiskinan kita, keprimitifan kita, dan kita terpaksa menjual apa saja yang eksotik bagi Barat, untuk memuaskan emosi romantik para musafir barat yang ingin mencari ketenanngan pada keterbelangan timur.
Sekarang, seharusnya hal tersebut dihentikan.tokoh yang sudah kita sebutkan di atas sudah memulainya, mereka mempelajari dan menguasai Dramaturgi Barat. Meraka pun mempergunakannya kalau perlu. Tetapi mereka tidak memetakan diri ke situ, dan tidak mau dipetakan oleh refrensi itu. Mereka melahirkan teaternya sendiri. Entah disebut teater miskin atau teater primitif, tetapi mereka memiliki kerajaannya sendiri yang merdeka dan berdaulat.
            Teater Indonesia di masa depan tidak ingin bersaing dengan teater Barat. Tetapi mengammbil posisi: saling membutuhkan, karena saling hadir dan saling melengkapi. Teater Indonesia di masa depan, seharusnya mampu akan membuat teater Barat melihat, memperhitungkan, menghormati, dan kemudian membutuhkannya. Persis sebagaimana sikap kita dulu terhadap teater Barat.
            Masa depan teater Indonesia memang sangat tergantung dari orang teaternya sendiri. Dunia apa/bagaimana yang ada dalam benak orang teater itu. Yang jelas waktunya terlalu mendesak, orang teater Indonesia mesti mulai memutuskan, apakah mereka akan menempuh jalan yang sudah dirintis oleh tokoh-tokoh yang disebut di atas, atau menngikuti seruan mereka yang menginginkan Indonesia menjadi sebuah Broadway yang lain.


...... masalah terbesar yang sedang di hadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini adalah krisis Spiritual.
Teater bisa menjadi senjata moral untuk menghancurkan ke-tidakseimbang-an Spiritual itu. bersama Agama, Pendidikan, menjadikan bangsa Indonesia lebih beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar