Kamis, 02 Februari 2012

BERBAGI ITU TERANGKAN HATI
Abdul wahab saleem, 07/2011

Banyak sekali motivasi yang disampaikan oleh Rasul dalam kapasitasnya sebagai “super teladan” untuk mewujudkan tatanan hidup yang dinamis, seimbang, ber-per(ke)adaban. Salah satunya adalah diwujudkan dengan adanya solidaritas sosial (al-tadlamun al-ijtima’i) yang kuat.

Munculnya berbagai problematika umat dan maraknya musibah yang menimpa bangsa dan agama saat ini , lebih disebabkan oleh kehampaan spiritual, hilangnya nilai kejujuran, melilitnya ego sektoral, serta merosotnya nilai kepedulian sosial. Indikatornya dapat kita lihat dalam berbagai kasus, dimana saat ini berbagai macam kegiatan yang bernilai ibadah hanya di jalankan sebagai “ritus” yang hampa makna implikatif. Kejujuran tak lagi di cahaya penerang, karena gelapnya kebohongan dan pengkhianatan justru dirasakan dan dianggap lebih menguntungkan dan lebih mengasyikkan. Kehidupan di dominasi oleh kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok tertentu, sehingga “ruh” ajaran agama yang mendanbakan pemerataan menjadi “asing” dan bahkan tak lagi terlihat. Hal –hal diatas sudah selayaknya menjadi “mukaddimah” bagi kita untuk sekali lagi melakukan muhasabah(perenungan) akan apa yang seharusnya kita lakukan.

Nabi Muhammad pernah menyampaikan pesan bahwa umatnya akan menjadi baik dengan dukungan ilmu dan harta (shalahu ummati bi al-‘ilmi wa al-mal). Dan secara praktis beliau juga memberi warning sekaligus instruksi bahwa bahwa kita diberi pertolongan dan rizqi oleh Tuhan (sehingga merasakan kehidupan yang selayaknya) adalah berkat orang-orang yang lemah diantara kita, (innama tunshoruna wa turzaquna bi dlu’afa’ikum). Untuk mwmbangun logika atas pesan dan instruksi Rasul ini memang tidak sederhana, dan ini masalh klise, arena kadang kita hanya mengutak-atik tentang apa hubungannya; antara kita diberi pertolongan-rizqi dengan kaum lemah?. Dan hal ini sudah banyak di ulas dalam berbagai macam tulisan dan diskusi.

Akan tetapi pada prinsipnya, bahwa setiap umat akan mengimpikan terwujudnya tatanan kehidupan yang dinamis, seimbang, dan ber-per(ke)adaban. Sementara Rasul telah memberikan resep dan kuncinya yaitu antara lain; bi al-‘ilmi wa al-mal (dengan ilmu dan harta), sehingga pertanyaan mendasarnya bukan lagi seberapa banyak ilmu dan harta yang kita miliki? Akan tetapi dengan ilmu dan harta yang kita miliki, kita sudah melakukan apa?. Nah, disinilah solidaritas sosial berperan.

Dalam konteks solidaritas sosial ini, upaya untuk “mengobati” berbagai permasalahan umat, sebenarnya dapa dilakukan dengan bermacam hal, diantaranya adalah melalui sedekah, infaq, zakat, dan berbagai macam bentuk lainnya, termasuk pengelolaan perekonomian umat melalui koperasi dan sejenisnya. Dengan catatan bahwa semua itu dilakukan secara tulus, konsisten, dan terus-menerus, sehingga tidak menjadi “ritus” yang hampa makna. Karena diakui ataupun tidak, bahwa sedekah, infaq, zakat dan sebagainya tadi merupakan barometer masyarakat akan kesalehan sosial mereka, seberapa besar mereka berbagi, seberapa pedul mereka dengan sesama, sebesar itu pula kesalehan sosial yang mereka miliki.

Muhasabah dalam hal ini, hanya merupakan bahan perenungan, dengan harapan semoga kita semakin tergugah dan menyadari bahwa di sekitar kita masih terdapat berbagai problem yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan, dihadapan kita masih bertebaran kaum dlu’afa’(lemah by; natur) mustadl’afin(lemah by; strktur) dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu membutuhkan kepedulian dari kita apapun bentuk, model, dan sarananya sehingga semua bisa terbebas dari belenggu ketertindasan, baik ketertindasan ekonomi, sosial, politik, dan bahkan ketertindasan natural, Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar