BERBAGI ITU
TERANGKAN HATI
Abdul wahab saleem, 07/2011
Banyak sekali motivasi yang
disampaikan oleh Rasul dalam kapasitasnya sebagai “super teladan” untuk
mewujudkan tatanan hidup yang dinamis, seimbang, ber-per(ke)adaban. Salah
satunya adalah diwujudkan dengan adanya solidaritas sosial (al-tadlamun al-ijtima’i) yang kuat.
Munculnya berbagai problematika
umat dan maraknya musibah yang menimpa bangsa dan agama saat ini , lebih
disebabkan oleh kehampaan spiritual, hilangnya nilai kejujuran, melilitnya ego
sektoral, serta merosotnya nilai kepedulian sosial. Indikatornya dapat kita
lihat dalam berbagai kasus, dimana saat ini berbagai macam kegiatan yang bernilai
ibadah hanya di jalankan sebagai “ritus” yang hampa makna implikatif. Kejujuran
tak lagi di cahaya penerang, karena gelapnya kebohongan dan pengkhianatan
justru dirasakan dan dianggap lebih menguntungkan dan lebih mengasyikkan.
Kehidupan di dominasi oleh kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok
tertentu, sehingga “ruh” ajaran agama yang mendanbakan pemerataan menjadi
“asing” dan bahkan tak lagi terlihat. Hal –hal diatas sudah selayaknya menjadi
“mukaddimah” bagi kita untuk sekali lagi melakukan muhasabah(perenungan) akan apa yang seharusnya kita lakukan.
Nabi Muhammad pernah menyampaikan
pesan bahwa umatnya akan menjadi baik dengan dukungan ilmu dan harta (shalahu ummati bi al-‘ilmi wa al-mal).
Dan secara praktis beliau juga memberi warning sekaligus instruksi bahwa bahwa
kita diberi pertolongan dan rizqi oleh Tuhan (sehingga merasakan kehidupan yang
selayaknya) adalah berkat orang-orang yang lemah diantara kita, (innama tunshoruna wa turzaquna bi
dlu’afa’ikum). Untuk mwmbangun logika atas pesan dan instruksi Rasul ini
memang tidak sederhana, dan ini masalh klise, arena kadang kita hanya
mengutak-atik tentang apa hubungannya; antara kita diberi pertolongan-rizqi
dengan kaum lemah?. Dan hal ini sudah banyak di ulas dalam berbagai macam
tulisan dan diskusi.
Akan tetapi pada prinsipnya, bahwa
setiap umat akan mengimpikan terwujudnya tatanan kehidupan yang dinamis,
seimbang, dan ber-per(ke)adaban. Sementara Rasul telah memberikan resep dan
kuncinya yaitu antara lain; bi al-‘ilmi
wa al-mal (dengan ilmu dan harta), sehingga pertanyaan mendasarnya bukan
lagi seberapa banyak ilmu dan harta yang kita miliki? Akan tetapi dengan ilmu
dan harta yang kita miliki, kita sudah melakukan apa?. Nah, disinilah
solidaritas sosial berperan.
Dalam konteks solidaritas sosial
ini, upaya untuk “mengobati” berbagai permasalahan umat, sebenarnya dapa
dilakukan dengan bermacam hal, diantaranya adalah melalui sedekah, infaq,
zakat, dan berbagai macam bentuk lainnya, termasuk pengelolaan perekonomian
umat melalui koperasi dan sejenisnya. Dengan catatan bahwa semua itu dilakukan
secara tulus, konsisten, dan terus-menerus, sehingga tidak menjadi “ritus” yang
hampa makna. Karena diakui ataupun tidak, bahwa sedekah, infaq, zakat dan
sebagainya tadi merupakan barometer masyarakat akan kesalehan sosial mereka,
seberapa besar mereka berbagi, seberapa pedul mereka dengan sesama, sebesar itu
pula kesalehan sosial yang mereka miliki.
Muhasabah dalam hal ini, hanya
merupakan bahan perenungan, dengan harapan semoga kita semakin tergugah dan
menyadari bahwa di sekitar kita masih terdapat berbagai problem yang menyangkut
masalah manusia dan kemanusiaan, dihadapan kita masih bertebaran kaum dlu’afa’(lemah by; natur) mustadl’afin(lemah by; strktur) dan
lain sebagainya, yang kesemuanya itu membutuhkan kepedulian dari kita apapun
bentuk, model, dan sarananya sehingga semua bisa terbebas dari belenggu
ketertindasan, baik ketertindasan ekonomi, sosial, politik, dan bahkan
ketertindasan natural, Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar